Ujian itu bernama rindu

“Rindu itu berat..” jika dipikul sendirian.

Karena ia berat, mari kita pikul bersama. Jangan membiarkan satu pihak memanggulnya sendirian. Apakah rindu itu bermaksud menguji mutu rasa karena rasa tak pernah bohong? Jangan tanyakan pada rumput yang bergoyang atau semut-semut di dinding. Coba dengarkan saja jawaban dari siaran radio larut malam. Atau coba kau pandangi langit malam ini.

Cobaan rasa ini sungguh menguras emosi dan energi. Jangan sungkan mengudap tengah malam. Atau bangun saja di sepertiga malam, memanjatkan banyak-banyak doa penuh kepasrahan. Ada rindu yang ingin disampaikan, ada pertemuan yang harus dibayar dengan kesabaran.

Ah, rindu itu sungguh cobaan yang menyiksa dan membuat lapar. Rindu itu berat, kamu saja yang rasa, bagian makan-nya biar aku saja.

#Ujian #Tantangan17 #Menulis10Menit

Berani itu tidak takut?

Di suatu petang saya harus melalui sebuah hutan untuk pulang. Melewati hutan itu seorang diri tak pelak menciutkan nyali. Segala yang menakutkan menggelayut di benak, menekan keberanian hingga tenggelam ke palung terdalam jiwa. Apa yang ada di dalam hutan? Binatang buas? Orang jahat? Apa yang akan saya lakukan jika bertemu salah satunya atau keduanya? Bagaimana saya bisa pulang? Maju-mundur sembari menengok ke sana ke mari, berharap teman yang membersamai pagi tadi muncul.

Mengapa saya mempertimbangkan pulang sendiri melalui rintangan yang mengerikan ini? Seseorang melukai harga diriku sebagai seorang perempuan. Temanku, seorang laki-laki, menantangku pulang melalui hutan itu seorang diri. Dia bertaruh saya tidak akan berani dan pasti hanya akan menunggu dirinya menjemput pulang bersama-sama. Sungguh saya merasa dibuat tidak berdaya.

Maka, saya mengeraskan hati membulatkan tekad. “Saya akan membuktikan bahwa saya bisa melalui hutan ini, pulang sendiri dan tiba di rumah tanpa kurang suatu apapun.” Apakah saya tidak takut? Tentu saja, saya takut. Penyebab takut terbesar adalah pemikiran bahwa saya seorang perempuan yang lemah, kurang mampu membela diri jika bertemu sesuatu yang jahat, liar, atau ganas di dalam hutan itu. Pemikiran ini melemahkanku.

Hei, kalau begitu, berarti kata teman saya itu benar: saya tidak bisa, tidak berani. Saya geram. Apa susahnya sih lewat hutan, itu hanya jalan biasa yang ditutupi rimbun pepohonan. Orang lain lewat situ bisa, saya juga pasti bisa. Kalau ada apa-apa saya tinggal bersembunyi di semak-semak atau pohon besar atau ya, lari saja. Saya bisa panjat pohon juga, saya bukannya tidak bisa apa-apa. Aaah, pasrah saja lah, semoga saya selamat, Tuhan membersamai senantiasa. Saya melangkah maju masuk hutan.

Melangkah perlahan gemetaran, mata melirik ke mana-mana, kewaspadaan ditingkatkan, indera pendengaran seketika lebih peka, saya bahkan bisa mendengar degup jantungku sendiri. Saya mempertimbangkan hendak bersenandung tipis-tipis untuk mengurai rasa takut namun urung. Jangan sampai suara saya memancing hewan buas atau apa yang lainnya. Saya memutuskan tidak menoleh kiri-kanan dan mempercepat langkah kaki. Sedikit lagi, maju terus, kamu bisa, ujung hutan ada di sana. Beberapa saat kemudian saya merasa langkah kaki meringan. Iya, saya tanpa sadar berlari! Pepohonan berakhir, semak-semak digantikan hamparan jalan, mulut kampung terpampang di depan mata. Saya berhasil!

Mau rasanya melompat-lompat, saya sangat girang. Saya menoleh melihat hutan di belakang, wah, ternyata saya berhasil melaluinya, seorang diri! Puji syukur saya tidak bertemu apapun yang menyulitkan, hewan buas atau orang jahat. Dengan membusungkan dada saya melanjutkan langkah menuju rumah. Saya merasa seperti seorang pahlawan yang memenangkan perang. A heroin won the battle!

Berani itu bukan berarti tidak memiliki rasa takut. Rasa takut itu ada di dalam sana, menempel menggentayangi. Berani itu adalah menggenggam rasa takutmu sembari melangkah terus bergerak dan itulah yang menjelma menjadi keberanian. Justru rasa takut itu menjadi semacam kontrol yang mendampingi keberanian nekat ini: hati-hati.

#Berani/Keberanian #Tantangan12 #Menulis10Menit